Tob
DabĂ´h ( debus )
Mengenal Sebelumnya,
debus atau daboh ini digunakan orang untuk berperang. Karena ada kearifan di
Aceh Selatan, setiap yang merantau bisa ilmu bela diri dan kebal, timbullah
imej di masyarakat luar bahwa anak Aceh Selatan banyak mistiknya, sehingga
penjajah pun takut masa itu, papar Muhasibi.
Dari
tradisi seperti itu, akhirnya debus menjadi sebuah kesenian. Pada mulanya
kesenian tradisional ini dimainkan dengan menggunakan rapa’i dan sambil duduk.
Namun, karena satu dan lain hal, termasuk tuntutan zaman, kebiasaan serupa ini
sedikit demi sedikit berubah.
pengertian Kesenian
tradisional ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di Aceh Selatan. Kesenian
ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal).
Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh
seorang yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang
disebut dengan rapa’i (gendang yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini
umumnya melagukan syair-syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta
dan kepada Rasulullah SAW sesuai dengan ajaran Islam.
Sejarah
Konon,
menurut riwayat kaum sufi (abad ke 7 H), Rapa’i Dabus ini berasal dari
nyanyian-nyanyian (puisi yang berbentuk doa) yang dibacakan oleh seorang
mursyid (pemimpin tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Mursyid ini membacakan doa
dan zikir dengan suara yang merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai
dirinya dan pengikutnya tak sadarkan diri (fana billah). Fana billah inilah
yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kelezatan jiwa.
Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan menuju makam Makhrifatullah. Rapa’i Zikir masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapa’i) sambil berzikir atau bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.
Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan menuju makam Makhrifatullah. Rapa’i Zikir masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapa’i) sambil berzikir atau bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.